Langgam satu: Curahan Hati
Dalam ingatan ombak laut ganas masalembo dan kecintaan pada tanah leluhur, aku mencoba masuk dalam bingkai alam pikiranmu. Kurenungi titik-titik keresahan dan berharap sebelumnya niatku tak lebur. Awalnya kukira ini hanya usikan dari perjumpaan kita yang singkat. Suara hatimu ternyata terekam dan mengisi misel-misel terkecil di otakku. Memberiku suatu pengalaman batin yang mungkin luput dari jangkauan ilmu pengetahuan positif.
Saudaraku, maaf jika curahan hati ini mengusik pahit di hatimu. Aku hanya berpikir kita sedarah. Sekembalinya kau ke tanah Jawa, kurenungi semua kata-katamu, tentang Rambu Sollo atau Aluk Tedolo yang selama ini kubanggakan bahkan kujual pada turis-turis yang terpana kagum. Namun, semua itu sirna. Dan entah darimana aku berharap takkan lagi kutemukan ratapan kematian yang dibuat-buat, namun seperti yang kau ceritakan kematian adalah perjumpaan terindah untuk menuju perjumpaan menemui sang Khalik. Engkau masih ingat ayat-ayat sucimu yang kau perdengarkan padaku kala teriakan kegembiraan mengantar sang mati ke gua?
“Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. Ayat-ayat itu mengisi gendang telingaku. Ayouuu...aihik, teriakan meoli yang dikumandangkan penduduk itu kini ibarat sepi walaupun mereka pasukan seribu orang pun. “Maka, mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, ...”
Itulah awal aku mengingat makna. Ternyata hidup adalah awal dari suatu perjalanan panjang. Dan kala bayangmu hilang, ingatan itu menjadi pemberat rasa. Kini sejalan waktu, aku mengumpulkan semua ingatanku untuk memnuhi tujuan akhir pembicaraan kita. Aku mencoba bicara lewat langgam ini, dan itu ternyata tidak sulit.
Saudaraku, ingatkah saat kau melantunkan kecintaanmu di antara kesibukan kerabat bergembira di atas kematian nenek kita? “Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat...”. Aku terbahak mendengarnya, namun hatiku tertegun. Apakah ini syair? Daya khayalku tak mampu menembusnya. Kutinggalkan engkau yang masih mengisi pijakan kaki-kaki penduduk desa pengusung mayat. Peluh apa ini? Dan untuk siapa? Bisakah kegembiraan mereka mengantarkan jenazah ke haribaan pemiliknya? Itulah yang berulang kali kau gumamkan. Aku muak sekali. Kau telah berani hujat adat tanamu sendiri.
Sejak awal aku menyadari perbedaanmu dengan saudara kita yang lain. Bukan saja karena kau jauh dibesarkan di tanah jawa, tapi kurasakan pemikiran dan kata-katamu senantiasa penuh makna. Dan kemudian aku takut kebenaran kata-katamu. “Nenek kita sudah mati, tapi kita dipaksa menganggapnya masih hidup. Apakah ada orang hidup disuntik formalin sebanyak dua botol kecap? Itu pembedahan pertama yang diajarkan turun-temurun”, ujarmu menguraikan analisa. Aku diam saja dan menganggap kau hanya mengigau. Engaku pun menyingkir dan duduk di pematang sawah. Kepergianmu semakin membuatku penasaran mengetahui kata-katamu lebih lanjut. Tapi tindakanku malah berlawanan. Aku menyiapkan penganan kesukaan nenek. Pembodohan kedua yang diajarkan. Siapa yang sesungguhnya mati? Siapa yang berakal? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengejarku.
Sejak engkau datang, hari-hariku tersiksa. Ini akibat dari dosa melanggar aturan Aluk Tedalo, ujar hatiku berkali-kali meyakinkan. Aku pun minum tuak sepuasnya, mengumpulkan kekuatan menyingkirkanmu. Genaplah sudah nafsu panjang kesombonganku. Aku bertolak pinggang, tetapi lagi-lagi hanya kedalaman suaramu dan luas mata hati yang kian membayangi pikiran.
“Aku kasihan pada tana ini. Rumput-rumput disini tumbuh bersama peradaban tanpa dzikir. Dan aku lebih menyayangkan karena aku tak dapat menerjemahkan ketundukan alam dan tasbih-tasbih penghuninya, agar mereka bisa belajar memahami hakikat dirinya”, gumam engkau berkali-kali. Miris. Teruslah, teruskan pembicaraanmu. Aku rindu sudut-sudut hatimu yang membasah, teriakku memohon. Engkau hanya menggeleng berkali-kali. Katamu, diriku tak bisa mengerti tasbih ini jik adalam keadaan tak sadar. Persetan! Teriakku putus asa. Aku pun menyesal menemuimu, dan kutinggalkan waktu agar pikiranku kembali jernih. Melupakan setiap ucapanmu, mengisi kidung hatiku yang gundah.
Keesokan hari, matahari menyembul menghias hariku. Aku bersiap dengan pesta kematian. Teriakan kegaduhan, dan kerbau-kerbau yang siap berlaga menghentikan hati untuk berpindah. Inilah kegembiraan seluruh kampung, menyambut pesta kematian yang mengorbankan seluruh kekayaan. Kain hitam yang kupakai tanda berkabung melilit badan. Pikiranku terpusat melantunkan mabadong di depan jenazah nenek yang disimpan di Tongkonan kecil. Kulirik tau-tau disebelahku. Tiba-tiba badanku menggigil. Patung itu melotot mengerikan. Nafasku sesak.
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”, suaramu terdengar lagi. Di tanganku, di hati, di telinga penuh. Aku menggeliat resah. Mataku mencari sosok roh nenek moyang yang selama ini kuyakini selalu berada dekat dan melindungi keturunannya, malahan kutemui pendeta. Katanya aku kerasukan roh nenekku yang mati. Agama apa yang tidak punya pendirian. Mereka mengajarkan puji-pujian dan juga membenarkan ketidakteraturan Aluk Telodo. Dimanakah ajaran syurga itu? Di gereja atau di makam-makam batu tempat bersemayam segala roh leluhur?
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertsbih kepada Allah. Dan tidak ada satupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka”. Hatiku mulai bersatu. Kurasakan kebenaranmu. Aku rasakan alunan keindahan dzikir makhluk-Nya Batu cadas gunung yang melingkupi tana ini, pohon-pohon yang meneduhkannya, air sungai maiting, ikan yang berenang, sampai hembusan angin melantunkan langgam yang kurindui. Berkah bagi hidupku.
Saudaraku, dzikir mereka sewangi kebenaran yang dibawa. Akhirnya kutemukan syair hatimu. Di sana panggilan yang tak mampu kutolak. Aku semakin haus mencari kebenaran kata-katamu. Terima kasih, tak mungkin kulupa seminggu yang bersejarah dalam hidupku.
Langgam dua: Menjalin Lautan Cinta
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segenap ufuk pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu”.
Saudaraku, aku telah menemukan jalanku, agama tauhid sejati. Kutemukan kembali kemerdekaan nurani yang selama ini tak kusadari terpenjara dalam adat kebodohan. Aku bangga dengan darah biru yang mengalir pada aortaku, namun aku lupa siapa yang menciptakannya? Ah, begitu naif. Otakku dan penghuni tana ini telah tercuci oleh sistem yang menguasainya. Sistem ajaran gembala yang harus diterima sejak pendidikan dasar (missi-nissi berhasil mengkristenkan Tana Toraja ini melalui pendidikan), walaupun mereka tak pernah bisa meredam tanya yang diwariskan Rabb.
Saudaraku, kebenaran itu ternyata harus diperjuangkan. Tak ada kata mati untuk beramal shaleh agar kelak aku bisa merengkuh cinta Kekasihku. Kumulai dari alif. Akupun menghindari tuak. Dan setelah beralih ke ba’, babi-babi kita telah kuganti dengan jadi ayam dan kerbau. Sabung ayam, kebiasaanku sehari-hari, judi, dan banyak lain yang harus kuhilangkan dari catatan kehidupanku kini, agar kelak doaku sampa ke langit. Aku terus menapak, seperti yang kau ceritakan kerikil-kerikil dan duri lainnya menambah jelas kisah pencarianku mencari cinta. Aku masih sulit merangkai alif, ba, dan huruf lainnya dalam tadarusku, seperti aku membedakan halal dan haram, membedakan nasi jagung dan nasi babi.
Tatkala syair-syair palsu bertiup di telinga, aku kembali merenungi ayat-ayat Tuhan, merenungi gunung dan lembah yang selama ini menyelimuti. Kupandangi kampung dengan sungainya yang mengalir panjang membasahi setiap jengkal tanah yang membuat negeri ini hidup. Ataupun aku ke Nenggala menyaksikan kelelawar pergi ke arah barat ketika matahari tenggelam di ujung batas horison langit. Subhanallah, aku kembali menemukan jejak Khalik.
“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang yang tuli dan buta”. “...dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tentram”.
Wahai saudaraku, ajari terus aku mengenal Tuhanku, agama dan Rasul, hari kiamat, takdir-Nya, surga dan neraka-Nya. Allah, jangan Engkau kembalikan aku ke dalam kesesatan setelah Engkau beri hidayah. Terimalah amalku yang setitik di antara lautan Rahman-Rahim-Mu. Tiada keinginan hamba selain bersatu dalam cinta-Mu, bersujud, ruku, menangis hanya atas nama-Mu.
Langgan tiga: Menebar Rahmat
Setiap kutebangun, terpancang azamku agar hari ini lebih baik dari hari kemarin. Jika telah kunikmati iman ini, kurindukan fajar yang mengawali sekaligus membuka kesempatan padaku untuk beribadah. Tundukku hanya pada Yang Satu: “(yaitu) Rabb yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang memimpinku. Dan Rabbku yang Dia memberi makan dan minum kepadaku. Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku. Dan yang mematikanku, kemudian akan menghidupkanku kembali”.
Saudaraku, aku mulai membagi kenikmatan yang kurasakan. Pada tongkonan dan penghuninya. Bukankah aku pernah memetik hikmah kata-katamu di tana ini. Aku ingin berbagi seperti engkau, menumbuhkan aku-aku lagi. Penunggu zaman, penghias langit agar mencurahkan berkahnya. Tekadku, tana ini harus subur dengan dzikir. Tiada mafasa kerbau yang berakhir di ujung pedang, namun ujung hayat mereka hanyalah ketundukan pada Rabb-Nya.
Aku terus mencoba. Di sini tempatku mengisi hayat. Menanti masing-masing jarak tumbuhnya generasi. Tidak hanya satu tetapi beribu-ribu “aku”. Mulut mereka wangi kesturi, senantiasa mengumandangkan dzikir dan ketaatan pada yang Esa. Nanti, Tana Toraja ini akan melatih cinta. Mereka besar di sini, di tana toraja, tana panduan keperkasaan alam dalam darah turun temurun. Dan lembah-lembah di sini, memantulkan setiap dzikir yang mereka kumandangkan. Tana ini dihiasi cahaya Allah, Al-Islam. Langit membagi teduhnya, dan bintang-bintang turut melantunkan Al-Qur’an. Doakan setiap langkahku diridhoi-Nya. Semoga dakwah kita sampai.
*****
Kertas kuning itu masih kupegang. Isinya barangkali tak sekedar langgam seseorang, namun kurasakan air mata harapan seorang hamba yang mengalir dari nurani dan hasrat mengubah tanah leluhurku menjadi lebih Islami. Tak terasa aku terhanyut di dalamnya. Seolah-olah aku sendirilah yang menulisnya. Selama ini, aku hanya menikmati keindahan Tana Toraja. Aku tidak pernah memikirkan penciptanya. Kunikmati pesta Rambu Sollo seperti hiburan lainnya. Kegembiraanku menikmati pesta kematian ini, padahal aku seorang muslim. Sesekali kunikmati tuak sebelum berangkat melakukan ma’pallau, mengarak mayat melewati tebing-tebing yang hampir tegak lurus. Aku benar-benar terlarut di dalmnya. Astaghfirullah.
Kupandangi erong yang diturunkan ke gua. Bagaimana rasanya mayat di dalamnya? Kasihan, mayat itu telah hampir satu tahun terbujur menunggu sanak keluarganya mengumpulkan harta hingga pesta ini berlangsung bak pesta pernikahan keluarga raja. Peluhku mengalir menganak sungai. Aku pun merasakan kesunyian di dalam keramaian. Menhir-menhir, darah tedong yang dikorbankan, tebing batu, tau-tau menjadi saksi bisu pesta mubazir ini.
“Zul, kemari, coba kameramu dari sudut sebelah sini”, teriak Rante. Aku hanya membalasnya lesu. Hilang sudah semangat berburuku mengabadikan pesta ini. Burung elang melintas di langit.
“Kenapa kau?” Rante mendekat. Kusodorkan kertas kuning yang tercecer di antara tau-tau di gua bawah. Mata Rante sejenak tercengang, namun akhirnya kertas itu dibacanya.
“Dimana kau temukan?” Tanganku menunjuk gua terbawah. Helaan nafas Rante terdengar kemudian.
“Sudah, lupakanlah. Ini hanya tulisan biasa. Ayo, kita mendekat. Nampaknya peti sudah tiba di gua.” Aku mengikuti langkahnya, tapi pikiranku tidak bisa dialihkan. Tiba-tiba otakku menyuruhku meninggalkan semuanya. Teriakan Rante tertiup angin. Kakiku terus melangkah. Tak ada gunanya meneruskan perburuan. Tuhan, maafkan segala khilafku. Biarlah langkahku terlambat daripada tak kutumbuhkan “aku-aku” yang mencari kematian atas nama Rabb-nya.
1 comment:
Allahuakbar,Tiada keindahan yg dicitpakan-Nya,selain untuk menambah keimanan,dan rasa syukur karna tuhan masih mencintai hambanya dg trus menurunkan hidayah untk hati2 yg hampa.
Post a Comment