Tuesday, August 29, 2006

[Kisah Islami] Langgam Dari Tanaku

Langgam satu: Curahan Hati

Dalam ingatan ombak laut ganas masalembo dan kecintaan pada tanah leluhur, aku mencoba masuk dalam bingkai alam pikiranmu. Kurenungi titik-titik keresahan dan berharap sebelumnya niatku tak lebur. Awalnya kukira ini hanya usikan dari perjumpaan kita yang singkat. Suara hatimu ternyata terekam dan mengisi misel-misel terkecil di otakku. Memberiku suatu pengalaman batin yang mungkin luput dari jangkauan ilmu pengetahuan positif.

Saudaraku, maaf jika curahan hati ini mengusik pahit di hatimu. Aku hanya berpikir kita sedarah. Sekembalinya kau ke tanah Jawa, kurenungi semua kata-katamu, tentang Rambu Sollo atau Aluk Tedolo yang selama ini kubanggakan bahkan kujual pada turis-turis yang terpana kagum. Namun, semua itu sirna. Dan entah darimana aku berharap takkan lagi kutemukan ratapan kematian yang dibuat-buat, namun seperti yang kau ceritakan kematian adalah perjumpaan terindah untuk menuju perjumpaan menemui sang Khalik. Engkau masih ingat ayat-ayat sucimu yang kau perdengarkan padaku kala teriakan kegembiraan mengantar sang mati ke gua?

Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. Ayat-ayat itu mengisi gendang telingaku. Ayouuu...aihik, teriakan meoli yang dikumandangkan penduduk itu kini ibarat sepi walaupun mereka pasukan seribu orang pun. “Maka, mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, ...

Itulah awal aku mengingat makna. Ternyata hidup adalah awal dari suatu perjalanan panjang. Dan kala bayangmu hilang, ingatan itu menjadi pemberat rasa. Kini sejalan waktu, aku mengumpulkan semua ingatanku untuk memnuhi tujuan akhir pembicaraan kita. Aku mencoba bicara lewat langgam ini, dan itu ternyata tidak sulit.

Saudaraku, ingatkah saat kau melantunkan kecintaanmu di antara kesibukan kerabat bergembira di atas kematian nenek kita? “Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat...”. Aku terbahak mendengarnya, namun hatiku tertegun. Apakah ini syair? Daya khayalku tak mampu menembusnya. Kutinggalkan engkau yang masih mengisi pijakan kaki-kaki penduduk desa pengusung mayat. Peluh apa ini? Dan untuk siapa? Bisakah kegembiraan mereka mengantarkan jenazah ke haribaan pemiliknya? Itulah yang berulang kali kau gumamkan. Aku muak sekali. Kau telah berani hujat adat tanamu sendiri.

Sejak awal aku menyadari perbedaanmu dengan saudara kita yang lain. Bukan saja karena kau jauh dibesarkan di tanah jawa, tapi kurasakan pemikiran dan kata-katamu senantiasa penuh makna. Dan kemudian aku takut kebenaran kata-katamu. “Nenek kita sudah mati, tapi kita dipaksa menganggapnya masih hidup. Apakah ada orang hidup disuntik formalin sebanyak dua botol kecap? Itu pembedahan pertama yang diajarkan turun-temurun”, ujarmu menguraikan analisa. Aku diam saja dan menganggap kau hanya mengigau. Engaku pun menyingkir dan duduk di pematang sawah. Kepergianmu semakin membuatku penasaran mengetahui kata-katamu lebih lanjut. Tapi tindakanku malah berlawanan. Aku menyiapkan penganan kesukaan nenek. Pembodohan kedua yang diajarkan. Siapa yang sesungguhnya mati? Siapa yang berakal? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengejarku.

Sejak engkau datang, hari-hariku tersiksa. Ini akibat dari dosa melanggar aturan Aluk Tedalo, ujar hatiku berkali-kali meyakinkan. Aku pun minum tuak sepuasnya, mengumpulkan kekuatan menyingkirkanmu. Genaplah sudah nafsu panjang kesombonganku. Aku bertolak pinggang, tetapi lagi-lagi hanya kedalaman suaramu dan luas mata hati yang kian membayangi pikiran.

“Aku kasihan pada tana ini. Rumput-rumput disini tumbuh bersama peradaban tanpa dzikir. Dan aku lebih menyayangkan karena aku tak dapat menerjemahkan ketundukan alam dan tasbih-tasbih penghuninya, agar mereka bisa belajar memahami hakikat dirinya”, gumam engkau berkali-kali. Miris. Teruslah, teruskan pembicaraanmu. Aku rindu sudut-sudut hatimu yang membasah, teriakku memohon. Engkau hanya menggeleng berkali-kali. Katamu, diriku tak bisa mengerti tasbih ini jik adalam keadaan tak sadar. Persetan! Teriakku putus asa. Aku pun menyesal menemuimu, dan kutinggalkan waktu agar pikiranku kembali jernih. Melupakan setiap ucapanmu, mengisi kidung hatiku yang gundah.

Keesokan hari, matahari menyembul menghias hariku. Aku bersiap dengan pesta kematian. Teriakan kegaduhan, dan kerbau-kerbau yang siap berlaga menghentikan hati untuk berpindah. Inilah kegembiraan seluruh kampung, menyambut pesta kematian yang mengorbankan seluruh kekayaan. Kain hitam yang kupakai tanda berkabung melilit badan. Pikiranku terpusat melantunkan mabadong di depan jenazah nenek yang disimpan di Tongkonan kecil. Kulirik tau-tau disebelahku. Tiba-tiba badanku menggigil. Patung itu melotot mengerikan. Nafasku sesak.

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”, suaramu terdengar lagi. Di tanganku, di hati, di telinga penuh. Aku menggeliat resah. Mataku mencari sosok roh nenek moyang yang selama ini kuyakini selalu berada dekat dan melindungi keturunannya, malahan kutemui pendeta. Katanya aku kerasukan roh nenekku yang mati. Agama apa yang tidak punya pendirian. Mereka mengajarkan puji-pujian dan juga membenarkan ketidakteraturan Aluk Telodo. Dimanakah ajaran syurga itu? Di gereja atau di makam-makam batu tempat bersemayam segala roh leluhur?

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertsbih kepada Allah. Dan tidak ada satupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka”. Hatiku mulai bersatu. Kurasakan kebenaranmu. Aku rasakan alunan keindahan dzikir makhluk-Nya Batu cadas gunung yang melingkupi tana ini, pohon-pohon yang meneduhkannya, air sungai maiting, ikan yang berenang, sampai hembusan angin melantunkan langgam yang kurindui. Berkah bagi hidupku.

Saudaraku, dzikir mereka sewangi kebenaran yang dibawa. Akhirnya kutemukan syair hatimu. Di sana panggilan yang tak mampu kutolak. Aku semakin haus mencari kebenaran kata-katamu. Terima kasih, tak mungkin kulupa seminggu yang bersejarah dalam hidupku.

Langgam dua: Menjalin Lautan Cinta

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segenap ufuk pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu”.

Saudaraku, aku telah menemukan jalanku, agama tauhid sejati. Kutemukan kembali kemerdekaan nurani yang selama ini tak kusadari terpenjara dalam adat kebodohan. Aku bangga dengan darah biru yang mengalir pada aortaku, namun aku lupa siapa yang menciptakannya? Ah, begitu naif. Otakku dan penghuni tana ini telah tercuci oleh sistem yang menguasainya. Sistem ajaran gembala yang harus diterima sejak pendidikan dasar (missi-nissi berhasil mengkristenkan Tana Toraja ini melalui pendidikan), walaupun mereka tak pernah bisa meredam tanya yang diwariskan Rabb.

Saudaraku, kebenaran itu ternyata harus diperjuangkan. Tak ada kata mati untuk beramal shaleh agar kelak aku bisa merengkuh cinta Kekasihku. Kumulai dari alif. Akupun menghindari tuak. Dan setelah beralih ke ba’, babi-babi kita telah kuganti dengan jadi ayam dan kerbau. Sabung ayam, kebiasaanku sehari-hari, judi, dan banyak lain yang harus kuhilangkan dari catatan kehidupanku kini, agar kelak doaku sampa ke langit. Aku terus menapak, seperti yang kau ceritakan kerikil-kerikil dan duri lainnya menambah jelas kisah pencarianku mencari cinta. Aku masih sulit merangkai alif, ba, dan huruf lainnya dalam tadarusku, seperti aku membedakan halal dan haram, membedakan nasi jagung dan nasi babi.

Tatkala syair-syair palsu bertiup di telinga, aku kembali merenungi ayat-ayat Tuhan, merenungi gunung dan lembah yang selama ini menyelimuti. Kupandangi kampung dengan sungainya yang mengalir panjang membasahi setiap jengkal tanah yang membuat negeri ini hidup. Ataupun aku ke Nenggala menyaksikan kelelawar pergi ke arah barat ketika matahari tenggelam di ujung batas horison langit. Subhanallah, aku kembali menemukan jejak Khalik.

Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang yang tuli dan buta”. “...dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tentram”.

Wahai saudaraku, ajari terus aku mengenal Tuhanku, agama dan Rasul, hari kiamat, takdir-Nya, surga dan neraka-Nya. Allah, jangan Engkau kembalikan aku ke dalam kesesatan setelah Engkau beri hidayah. Terimalah amalku yang setitik di antara lautan Rahman-Rahim-Mu. Tiada keinginan hamba selain bersatu dalam cinta-Mu, bersujud, ruku, menangis hanya atas nama-Mu.

Langgan tiga: Menebar Rahmat

Setiap kutebangun, terpancang azamku agar hari ini lebih baik dari hari kemarin. Jika telah kunikmati iman ini, kurindukan fajar yang mengawali sekaligus membuka kesempatan padaku untuk beribadah. Tundukku hanya pada Yang Satu: “(yaitu) Rabb yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang memimpinku. Dan Rabbku yang Dia memberi makan dan minum kepadaku. Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku. Dan yang mematikanku, kemudian akan menghidupkanku kembali”.

Saudaraku, aku mulai membagi kenikmatan yang kurasakan. Pada tongkonan dan penghuninya. Bukankah aku pernah memetik hikmah kata-katamu di tana ini. Aku ingin berbagi seperti engkau, menumbuhkan aku-aku lagi. Penunggu zaman, penghias langit agar mencurahkan berkahnya. Tekadku, tana ini harus subur dengan dzikir. Tiada mafasa kerbau yang berakhir di ujung pedang, namun ujung hayat mereka hanyalah ketundukan pada Rabb-Nya.

Aku terus mencoba. Di sini tempatku mengisi hayat. Menanti masing-masing jarak tumbuhnya generasi. Tidak hanya satu tetapi beribu-ribu “aku”. Mulut mereka wangi kesturi, senantiasa mengumandangkan dzikir dan ketaatan pada yang Esa. Nanti, Tana Toraja ini akan melatih cinta. Mereka besar di sini, di tana toraja, tana panduan keperkasaan alam dalam darah turun temurun. Dan lembah-lembah di sini, memantulkan setiap dzikir yang mereka kumandangkan. Tana ini dihiasi cahaya Allah, Al-Islam. Langit membagi teduhnya, dan bintang-bintang turut melantunkan Al-Qur’an. Doakan setiap langkahku diridhoi-Nya. Semoga dakwah kita sampai.

*****

Kertas kuning itu masih kupegang. Isinya barangkali tak sekedar langgam seseorang, namun kurasakan air mata harapan seorang hamba yang mengalir dari nurani dan hasrat mengubah tanah leluhurku menjadi lebih Islami. Tak terasa aku terhanyut di dalamnya. Seolah-olah aku sendirilah yang menulisnya. Selama ini, aku hanya menikmati keindahan Tana Toraja. Aku tidak pernah memikirkan penciptanya. Kunikmati pesta Rambu Sollo seperti hiburan lainnya. Kegembiraanku menikmati pesta kematian ini, padahal aku seorang muslim. Sesekali kunikmati tuak sebelum berangkat melakukan ma’pallau, mengarak mayat melewati tebing-tebing yang hampir tegak lurus. Aku benar-benar terlarut di dalmnya. Astaghfirullah.

Kupandangi erong yang diturunkan ke gua. Bagaimana rasanya mayat di dalamnya? Kasihan, mayat itu telah hampir satu tahun terbujur menunggu sanak keluarganya mengumpulkan harta hingga pesta ini berlangsung bak pesta pernikahan keluarga raja. Peluhku mengalir menganak sungai. Aku pun merasakan kesunyian di dalam keramaian. Menhir-menhir, darah tedong yang dikorbankan, tebing batu, tau-tau menjadi saksi bisu pesta mubazir ini.

“Zul, kemari, coba kameramu dari sudut sebelah sini”, teriak Rante. Aku hanya membalasnya lesu. Hilang sudah semangat berburuku mengabadikan pesta ini. Burung elang melintas di langit.

“Kenapa kau?” Rante mendekat. Kusodorkan kertas kuning yang tercecer di antara tau-tau di gua bawah. Mata Rante sejenak tercengang, namun akhirnya kertas itu dibacanya.

“Dimana kau temukan?” Tanganku menunjuk gua terbawah. Helaan nafas Rante terdengar kemudian.

“Sudah, lupakanlah. Ini hanya tulisan biasa. Ayo, kita mendekat. Nampaknya peti sudah tiba di gua.” Aku mengikuti langkahnya, tapi pikiranku tidak bisa dialihkan. Tiba-tiba otakku menyuruhku meninggalkan semuanya. Teriakan Rante tertiup angin. Kakiku terus melangkah. Tak ada gunanya meneruskan perburuan. Tuhan, maafkan segala khilafku. Biarlah langkahku terlambat daripada tak kutumbuhkan “aku-aku” yang mencari kematian atas nama Rabb-nya.

Tau-tau: patung yang dibuat mirip almarhum
Rambu Sollo: pesta kematian di Tana Toraja

Aluk Tedollo: sistem adat istiadat di Tana Toraja
Tongkonan: rumah adat Toraja
Tedong: kerbau
Meoli: teriakan khas
Mabadong: nyanyi pujian yang lirih
Ma’palla: mengarak mayat
Erong: peti mayat
Ma’pasang tedong: upacara adu kerbau

Friday, August 25, 2006

Perempuan dari Andara

Menuju Puncak, Bogor
Andri menawarkan diri, ingin sekalian ikut, melihat-lihat tempat kerjaku, cottage. Terletak menjelang kawasan Puncak, Cipayung, Jawa Barat. Usai shalat Magrib berjamaah di musholla stasiun, kami bergegas meluncur.

�Rua�payu�rua payu!� pekik kenek naik turun. Berebutan.
Rua payu? Adakah nama daerah itu di kawasan Puncak? Setelah ku renungkan, rupanya yang dimaksudkan oleh para kenek itu, Cisarua dan Cipayung! Ah�ada-ada saja ulah mereka itu!
Di atas angkot, sederet cerita Andri mengalir. Bagaimana seharusnya menjadi sosok pribadi muslim, keprihatinnya terhadap dunia internasional yang selalu menskreditkan ummat islam, sampai masalah Palestina.

Hujan lebat menyambut kedatangan kami di Cipayung. Untung, tepat di pertigaan jalan hendak menuju ke cottage, hujan mereda seketika. Alhamdulillah. Usai makan malam, shalat isya berjamaah, kemudian murojaah, istilah Andri yang segera kuakrabi, kami banyak tafakur. Arak awan mulai disapu bayu. Andri kulihat pulas melawan lelah dan dinginnya hawa kawasan Puncak.
Sepertiga malam, Andri membangunkan tidurku. Berjamaah, qiyamul lail kami dirikan. Aku paksakan diri untuk menyempurnakan, sebelas rakaat, meski kantuk menyerang tak tanggung-tanggung.

Ba�dha Subuh. Di tengah gumpalan kabut Cipayung. Andri pamit. Ada mata kuliah jam delapan. Aku antarkan ke jalan raya Bogor-Puncak.
Aku bekerja full time! Libur hanya satu hari dalam sepekan. Hari Sabtu. Sudah tradisi, aku biasanya pasti pulang kembali ke kos-an.
Menjelang keberangkatanku kembali ke Depok. Aku sibuk membolak-balik adress book. Mencari nomor telepon dan nomor HP yang pernah dituliskan Andri.

KRL Jabotabek, Bogor-Depok.
Dalam perjalanan balik ke Depok. Mentari setengah meninggi. Anganku berpacu tentang kondisi pekerjaanku yang sudah setengah-setengah hati aku jalani. Aku mau keluar! Aku mau pindah! Bagaimana karir kepenulisanku? Bila harus dan terus memaksakan diri dengan sesuatu yang tak lagi aku nikmati, rasanya sia-sia.

Stasiun Pondok Cina.
Kutelusuri gang sempit jelang ke kos-an. Letih menyergap di ruas-ruas sendi. Sesampai di sana lengang tak berorang. Kemana teman-teman lainnya? Ah, selalu begitu. Yang namanya mahasiswa, selain jadwal kuliah yang mau tak mau harus dipatuhi, tak ada lagi. Begitu tak ada perkuliahan, bebas suka-suka kemana saja.
Aku membolak-balik adress book ulang. Hhm... ada nomor telepon rumahnya juga dituliskan Andri. Akan kucoba. Itung-itung silaturrahmi.

Tepat mentari tegak lurus menghujamkan sinarnya di ubun-ubun kepalaku, belum juga kutemukan rumah perempuan itu, yang berarti kediaman Andri. Tak dapat kubayangkan seperti apa gerangan sosok perempuan itu. Pertanyaan satu persatu serta merta berpacu dibenakku tentang bayangannya. Sifat seperti apa gerangan yang dimiliki perempuan itu, hingga mampu menyepuh anaknya berbudi emas seperti itu. Setidaknya itu kesanku sejak pertama kali bertemu sampai saat ini.

Andri, anak muda dua puluh tahun itu memberiku sesuatu! Dan�itu takkan bisa kugantikan dengan apapun. Walau ia sendiri tak menyadari. Tapi buatku, justru menimbulkan keinginan untuk mengetahuinya lebih dekat. Ya, keluarganya. Adik-adiknya yang dua orang itu serta ibu-bapaknya.
�Bisa timbul fitnah!� sela teman sepengajianku saat aku menceritakan niatku hendak mengunjungi perempuan itu.

�Fitnah? Ah�yang benar aja! Yang akan aku kunjungi itu sudah Ibu-ibu, kok!?� keningku mengkerut.
�Justru karena itu,� angguk salah seorang dari temanku itu pertanda mendukung setuju.
�Umur ibunya berapa?�
�Yah..aku belum tahulah! Aku saja baru berencana mau kesana!�
�Kalau anaknya yang paling besar sama usianya dengan kita, berarti empat puluhan sudah ada kali ya!?�

�Kok�jadinya mempermasalahkan umurnya sih? Niat dan tujuanku hanya satu, ingin menambah kenalan. Apalagi aku sudah berkenalan, cerita panjang lebar dengan anaknya. Kesanku, Andri senang berteman denganku. Buktinya, Andri berulang kali memintaku datang, walaupun ia sedang tak berada di rumah. Ya, itung-itung silaturahmi sekalian! Bolehkan?�

Berbekal nomor telepon rumahnya yang diberikan Andri. Aku beranikan diri menelpon.
Aku meluncur dari Pasar Minggu. Kemudian, naik angkot 61 warna biru. Turunnya di jalan Andara. Ku abaikan dengan sedikit senyuman tawaran para tukang ojek yang mangkal di bagian depan jalan.
Bukan karena aku belum tahu persis alamat yang hendak kutuju. Tapi, karena uang di dompetku yang memang pas-pasan, kalau tak patut disebut lagi cekak!

Akhirnya, berjalan kaki adalah pilihanku nomor satu. Kata pakar kesehatan, jalan kaki itu salah bentuk olah raga paling murah, meriah pula. Tentunya dapat menyehatkan badan.

Di Jepang, para lansia banyak yang berumur panjang, konon dari yang kubaca, rata-rata dari mereka, banyak yang suka memilih berjalan kaki kemana-mana.

Kalau dibawakan ke Jakarta, agaknya kurang tepat. Bayangkan saja, nyaris disetiap sisi jalan trotoar Jakarta, ramainya oleh para pedagang kaki lima! Bagaimana bisa menikmati jalan kaki seperti di negeri Sakura itu?
Masuk ke tikungan kedua. Tanda-tanda rumah yang mendekati nomor itu belum juga ada. Mau menelpon lagi, wartelpun tak nampak dari sekitar sini.

�Maaf, Bu! Mau nanya, dimana rumah Andri, ya?�
�Andri yang mana, ya!?�
�Anaknya putih, tingginya sedang.�
�Anaknya siapa toh?� celetuk seorang dari mereka.
�RT-nya... RT berapa, Dek!?� imbuh yang lainnya penasaran.
�001, No 04!�
�Ooo�Andri anaknya Bu Yayuk itu loh, Mbak!� mereka saling pandang, saling menebak.
�Andri anaknya Bu Yayuk bukan!?�
�Wah, saya nggak tahu, Bu!�
�Adek lurus ke jalan ini, ketemu rumah di depannya, ada seperti pendopo, belok kanan. Rumahnya cat hijau! Nanya disitu ya!?� wakil dariiIbu-ibu itu seperti menaruh iba padaku.
�Terima kasih, Bu!�

Jalan Andara
Sederhana sekali bangunannya. Lima batang tanaman penghias dalam pot yang dipajang rapi di depannya menambah kesan asri. Teras depan berpadu elok dengan semua dinding. Menyejukkan setiap mata yang memandang. Walau ukuran bangunannya hanya seperti rumah petak biasa.
�Assalamualaikum!� sapaku hati-hati.
Takut salah alamat. Begitu mataku tertumbuk ke sebuah papan alamat yang dipajang di dekat pintu masuk, persis sama dengan yang dituliskan Andri, takutku sirna tiba-tiba.

�Walaikumsalam! Sebentar!� ramah sekali kedengarannya.
�Saya Ari, temannya Andri!�
�Ooo�Mas... yang dibilang Andri, penulis itu ya?�
�Bukan penulis, Bu! Saya masih belajar kok di dunia tulis-menulis!� ujarku santun.
Perempuan itu berlalu ke ruang dapur. Jilbab putih polos ukuran jumbo itu sedikit mengibas ujungnya ulah kipas angin yang dipasang di tengah rumah.

�Silahkan di minum, Mas! Sekalian di makan kuenya!�
Segelas syrup rasa orange. Beberapa buah jeruk. Dalam sungkan aku berusaha menikmatinya.
�Maaf, beginilah rumah Andri!�
�Ooo nggak apa-apa, Bu! Di sini sangat sejuk dan asri sekali!�
�Susah nggak mencari alamatnya? Naik apa tadi ke sini?� sapanya ramah.
�Nggak, Bu! Gampang kok! Tadi, jalan kaki saja, biar sehat!� tangkisku ringan memupuk kepercayaan diri.

Tak lebih tiga jam aku bertamu. Aku pamitan.
�Nggak nunggu Andri dulu, Mas? Tadi Andri nelpon ke rumah. Pulangnya agak sore, katanya!�
�Nggak apa-apa, Bu. Lain kali, insya Allah saya datang kemari lagi!�

Aku lewati kembali rute yang sama. Usai menunaikan shalat dzuhur di sebuah mushalla dekat situ, aku renungi kata-kata Ibu tadi.
Andri banyak berubah setelah masuk Rohis. Ibu itu sendiri memutuskan hijrah, selalu berkerudung ukuran jumbo, menjadikan rumahnya sebagai tempat mengaji bagi Ibu-ibu di sekitar tempat itu. Ia sengaja memutuskan pensiun dini dari sebuah perusahaan telekomunikasi terbesar, semata-mata ingin mencari apa-apa yang sesungguhnya di ridhoi Allah!

Semua penuturannya itu bisa ku maklumi. Mungkin malah alasan yang sudah basi. Hal semacam itu banyak pula dialami oleh perempuan-perempuan yang lainnya! Jadi apa istimewanya dengan perempuan itu?

Yang menarik dan membuat kepalaku menggeleng-geleng adalah keputusannya berpisah dari suaminya. Bapak bagi tiga anaknya.
�Bapak suka bermain-main dalam masalah aqidah!�
�Maaf maksud ibu!?�
�Bapak berani sekali menebak-nebak masalah nasib orang!�
Ingin aku tanyakan, apakah Bapak seorang paranormal? Tetapi tak enak.

Menanyakan sesuatu yang sensitif buat seseorang adalah tak baik! Sebisa-bisa mungkin carilah pertanyaan yang pengganti! Yang membuat orang merasa diperhatikan! Mengiang di telingaku nasehat teman-teman sepengajianku.

�Begini, Mas! Bapak mengaku pernah didatangi anggota Walisongo. Rumah ini di lindungi oleh Pangeran Jayakarta, anak-anak akan diwariskan oleh bapak semacam ilmu kebatinan, biar bisa terlindungi. Bahkan, bapak secara tak langsung menjadikan rumah ini sebagai praktek kerjanya. Dijadikan tempat buat orang-orang di sekitar sini untuk berkonsultasi. Berbagai macam-macam persoalan. Orang-orang menanyakan bagaimana nasibnya, kalau ia terus bekerja di bidang itu? Bidang ini? Bagaimana cara supaya jualan di warungnya makin laris? Apa benda keramat yang harus dipasang? Bagi para isteri-isteri di sekitar sini, ingin tahu cara apa rahasianya agar tetap disayang suami? Bahkan ada yang minta diberitahukan resep, bagaimana suami tak berpaling ke wanita lain? Sedang yang berprofesi sebagai pekerja kantoran, menanyakan bagaimana triknya agar jabatan aman! Tak diganggu oleh pekerja yang lain? Kalau bisa naik jabatan tiap bulan! Bagi para manula menanyakan, bagaimana resepnya agar selalu tampak awet muda.�
Mulutku membulat. Kepalaku mengangguk-angguk dibuatnya.

�Apakah dengan berpisah itu cara terbaik, Bu?�
�Sebenarnya itu memang bukan pilihan terbaik, di antara yang terburuk. Ibu paham, bercerai adalah salah satu perbuatan yang dibenci oleh Allah. Tapi setelah ibu pikir-pikir, renungi, inikan masalah tauhid, ibu khawatir anak-anakkan bertambah besar, kalau satu persatu nanti tergelincir dalam masalah tauhid ini, ibu rasa itu sangat berbahaya. Baik di dunia apalagi di akhirat nantinya! Wallahu�alam!�

Nafas ku hela dalam. Mencoba mengerti hati perempuan ini. Di saat ia sedang berupaya mengkaji lebih dalam agama Allah, lewat bimbingan seorang ustadzah, di saat ia putuskan benar-benar kaffah menjalankan syari�at, suaminya malah memberikan contoh yang sangat rentan menggelincirkan keyakinan.

�Mungkin sikap ibu ini tidak syar�i sama sekali! Tapi di satu sisi, demi perkembangan jiwa anak-anak ke depan, ibu memilih berpisah saja! Andri, anak yang sulung, ibu tekankan untuk selalu menyambungkan tali silaturrahmi, selalu membentengi diri dengan shaum Senin-Kamis, tilawah Al-Quran 1 juz I hari, membaca Al-ma�tsurat tiap pagi dan petang hari, tebarkan salam, dan yang tak boleh lupa, menyisihkan sedikit dari rejeki tiap hari, buat infaq, sedeqah serta derma!�

�Prestasi ibadah Andri lainnya, Bu? Maaf, bukan hendak menimbulkan ujub di hati ibu, tapi sebagai contoh buat anak-anak muda seperti kami.�
�Sudah delapan tahun ini, Andri ikut dalam satu kelompok mengaji. Qiyammul lail, sunat fajar, dhuha, istikharah, ibu tekankan benar jangan sampai ditinggalkan! Usai kuliahnya nanti, harapan ibu, Andri bisa menjadi pemuda mandiri. Kalau dimungkinkan, ibu mengharapkan, ia menjadi enterpreneur sejati, wiraswasta, pedagang sukses yang islami. Terserah! Asal bergelut di bidangnya, ekonomi, tapi ekonomi syari�ah! Ibu tak ingin Andri punya mental kantoran! Andri harus punya skill mandiri!�
�Kenapa ibu tak ingin Andri menjadi pekerja kantoran? Ya, karyawan begitu!?�

�Medan dakwah butuh dana yang tidak bisa dibilang kecil. Kalau dana yang di infakkan bersumber bukan dari usaha sendiri, di khawatirkan nantinya akan rentan dan tergantung dari maju mundur kinerjanya kita di perusahaan tersebut. Bukan tak mungkin, harus melaporkan dulu kepada atasan! Sedang rata-rata pengusaha besar di negeri ini....Mas sudah tahu sendirilah! Bila dari sekarang ditekadkan merintis usaha, wiraswasta sendiri, takkan ada waktu tenggang untuk mengucurkan bantuan dalam bentuk apapun! Kapanpun!�

Kekagumanku pada jalan pikiran ibu itu, yang merentas waktu jauh ke masa depan, sungguh di luar dugaan.

Mataku menyisir kitab-kitab dan buku-buku, serta majalah-majalah islami yang tesusun cantik pada rak buku di salah satu ruang kamar rumah itu. Perpustakaan pribadikah?

Wisma Putih, Kawasan Kapuk
Sesampai di kost, aku membayangkan, bila saja aku disepuh oleh seorang ibu semacam itu. Entah jadi apa diriku nanti! Juru dakwah, itulah di antara niat di hatiku.

Sejak itu, aku semakin sering berinteraksi dengan Andri. Ibaratnya, bila orang berteman dengan penjual minyak wangi, maka ia akan terkena cipratan wanginya. Begitu pula pertemananku dengan Andri pada akhirnya.
Semua bermula hanya dari tebarkan salamnya seorang Andri. Dilanjutkan sampai berkenalan lebih jauh untuk kesekian kalinya. Bahkan aku sampai diajak Andri ke Yogyakarta. Berkenalan dengan semua anggota sanak familinya yang tinggal di kota Budaya, yang juga kota Pendidikan itu.

Dari semakin saling tukar cerita, saling sehat menasehati, perlahan aku mulai benar-benar punya kebiasaan seperti Andri.

Beberapa ritual ibadah yang tak pernah aku tinggalkan sampai kini. Qiyamul lail, shalat sunat fajar, dhuha, membaca Al-Quran 1 juz I hari, adalah ulah sentuhan tausyah Andri. Entah apalagi. Aku berharap bisa berbudi emas pula!
Dan menjelang masa kerjaku habis di cottage itu, Aku diminta Andri untuk datang ke rumahnya, di daerah Andara.

�Mas Ari, kata Ummi, sekarang Mas bukan siapa-siapa lagi, tetapi sudah dianggap keluarga sendiri. Anak angkat Ummi!� ujar Andri dengan senyum penuh arti.

Ummi? Siapakah yang disebut-sebut Andri dengan sebutan ummi? Lama aku menyangsikan apa yang dikatakan Andri itu. Aku berpikir keras apa maksudnya berkata begitu? Benarkah aku aku akan menjadi anak angkat Ummi? Yang berarti anak angkat ibu itu! Anak angkat dari sebuah keluarga yang selalu sibuk dengan urusan agama.

Apakah yang diceritakan oleh Andri tentang diriku kepada ibunya, hingga memutuskan tiada ragu sedikitpun jua, menganggapku anak angkatnya sendiri.

Ummi dan Andri, sama-sama terjun pula ke sebuah organisasi pergerakan da�wah. Keduanya kini menjadi aktivis. Dan juga, saat ini keduanya sedang menyiapkan diri menjadi murobbi yang sukses.

Mataku berlinang-linang di sela-sela bacaan murottal yang dilantunkan Andri. Sementara aku bergiat mempertebal keyakinan diri. Aku tak perlu terlalu asing lagi hidup di rantau orang. Aku tak perlu merasa sendiri lagi. Tak perlu menitikkan air mata lagi, bila semua masalah tak bisa ku pecahkan sendiri.

Yang paling menambah semangat baru dalam hidupku, Andri bersedia menjadi saksi, saat pernikahanku nanti!

Aku merangkai hari lebih berwarna lagi. Sebab, yang semula biasa ku menyapanya ibu, kini harus ku biasakan memanggilnya Ummi. Di mataku ia memang bukan perempuan biasa. Perempuan itu...ummi...juga guru mengaji.

Baru kini aku menyadari, ternyata kedatanganku pertama kali, seharusnya menanyakan dimana rumah guru mengaji tanpa digaji itu? Jawabnya tentu saja perempuan dari Andara. (AaG/FJH)
========
Annida 2005

[Kisah Islami] Serial Cita Cinta

Episode1. Siang Menyapa Margonda
Kawasan Margonda, Depok, Jawa Barat
Kakiku menyisir trotoar dengan wajah bersepuh peluh. Demam ruko-ruko lebih cepat dari jamur yang sedang ditimpa hujan. Lalu lalang pengguna jalan berpacu tak kenal ampun. Macet? Tentu saja. Apalagi di tepi jalan ini, berdiri dua kampus perguruan tinggi ternama. Para mahasiswanya sungguh meruah sampai ke Margonda, terutama saat jam-jam datang dan pulang kuliah.
Rental & Warnet Bismi-Net

Rutinitasku pagi ini tak jauh berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Menjelang mentari sepenggalan naik, aku bergegas mengirimkan naskah-naskah karya via internet di sebuah warnet. Namanya Bisminet. Selain aku bisa berhemat dengan cara seperti ini, penjaga warnetnya juga sungguh ramah. Buatku keramahan salah satu bentuk ikatan-ikatan yang mampu mengatakan, bahwa kita manusia.

Serasa dunia tak selebar daun kelor! Itu minimal rasa hatiku bila berlama di dunia maya itu. Namun, justru semakin kurenungkan, yang hadir serta merta adalah bagaimana caranya agar aku bisa keluar secepatnya dari pekerjaan yang sekarang.

Bila sejak pukul sembilan pagi sampai pukul sembilan malam, aku harus bermanis ria di depan sekaligus ruang tunggu, ditemani sebuah kursi rotan. Kalau sofa masih mendingan, plus sebuah meja tulis. Bagian resepsionis cottage yang baru soft launching! Letaknya nyaris di atas puncak bukit. Entah berapa tingginya dari permukaan laut. Kawasan Puncak, Jawa Barat. Lengang memagut di antara gumpalan kabut gunung Pangrango. Itulah hari-hariku. Mana tahan?
Bursa Nurul Fikri, Margonda, Depok.

Seperti biasa, aku langsung menyambangi majalah-majalah terbaru. ANNIDA, UMMI, SAKSI serta media islam lainnya. Siapa tahu, edisi kali ini di antara media-media itu, salah satunya akan memuat tulisanku.

Walau aku tahu ini bukan perpustakaan umum, namun aku tetap memaksakan diri membaca di sini. Bahkan seakan terjadwal. Untunglah sang pemilik, Bursa NF, seperti mahfum adanya dengan hobiku yang satu itu. Gila baca. Padahal nggak beli juga!

�Assalamualaikum warahmatullah!� sebuah suara menyapa renyah, disertai sesosok remaja mendekat ke arahku.

�Walaikum salam!� balasku sekenanya. Mungkin terkesan cuek bebek malahan. Buktinya, aku tak sedikitkan memalingkan muka ke arah datangnya suara itu. Dan, aku dengar, sebagai muslim yang baik, jawabanku seharusnya jauh lebih sempurna, lebih lengkap lagi dari orang yang mengucapkan pertama.

Begitulah, aku terkadang memang kurang cermat memanfaatkan ladang-ladang amal.
�Andri! R. Andri Mahendra!� tangannya diulurkan.
�Pria Takari Utama! Hhmm�anda karyawan sini?� balasku agak beruntun, namun kering.
�Bukan!� gelengnya sambil melepaskan satu senyuman.

�Subhanallah! Lagi nyari buku apa, akhi?� kali ini pertanyaan dari ia yang beruntun. Cukup santun dan friendly kesannya.

�Nggak! Cuman baca-baca saja!� imbuhku mulai berpaling lagi. Bahkan acuh tak acuh.
�Kuliah apa sudah bekerja, akhi?� cecarnya malah lebih mendekat dari semula.

�Dua-duanya. Kuliah sambil kerja!� jawabku datar. Lebih acuh. Lebih cuek.
Ada ke-PeDe-an, overacting menjalari jiwaku.
Aku penulis, teman, kalau kamu tau itu! Bisik hatiku. Ada terselip rasa ujub disitu. Astaghfirullah!

Kenapa aku jadi cepat berbangga pada diri sendiri begini? Padahal baru satu, dua, karyaku dimuat oleh beberapa media. Ya, Allah! Aku istighfar lagi berulang kali di dalam hati.

Tiada bersebab, tekadku untuk tidak obral siapa aku, juga memudar seketika itu. Seharusnya aku tak perlu mengungkapkan kemampuanku dalam dunia tulis-menulis begini. Kecuali, bila ia bertanya. Sayang, aku sudah kelepasan!

Bahkan sepertinya hal itu seakan-akan menjadi kebiasaan. Aku yang tak pernah mampu dan tak punya kekuatan untuk sekedar menyembunyikan identitas. Sedangkan di negeri ini, bukankah negeri yang dipenuhi oleh para penulis?
�Kamu sendiri?� tantangku hambar.

�Apanya, ya?� balasnya lebih sopan. Lebih santun pula.
�Aktivitasnya!?�
�Masih kuliah, di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam!� jawabnya hati-hati memasang wajah berseri.
Jangan sok alim choy! Lagi-lagi satu bisik hatiku kelepasan. Dibungkus dalam su�udzan pula! Ini orang berlagak lemah-lembut, sok akrab, sok tenang, sok tawadhu! Liarlah pikiranku mengambil kesimpulan yang miring terhadap sikapnya.

Ya, Allah, kenapa aku cepat menilai buruk begini? Kenapa sinis memvonis orang?
�Dimana tuh kampusnya?� elakku mengusir perasaan minder diri, karena ia tepat berdiri di sampingku.

�Daerah Dermaga, Bogor. Disitu kampus untuk tempat matrikulasi. Sedang kampus perkuliahan sehari-hari, di kawasan Cibubur, Jakarta Timur!�
�Ooo�!� anggukku berpura tertarik. Di hati setengah mencibir.
�Mungkin antum punya adik atau saudara!?� Andri menatapku lamat-lamat.

�Punya, kenapa memangnya?�
Kemudian, Andri mengeluarkan beberapa lembaran brosur, memberikannya kepadaku. Isi brosur itu memuat profil kampusnya.

Ingin aku katakan, TIDAK PERLU. Namun, sebagai teman baru, aku harus menghargai pemberiannya itu. Setengah mencengir dibumbui seulas senyum nan masam, aku masukkan lembaran-lembaran brosur itu ke dalam tas ransel yang menempel di punggungku.

Seharusnya kamu tak perlu memberikan yang tak aku butuhkan, teman! Kembali hadir satu bisikan tak bersahabat dalam hatiku. Kenapa akhir-akhir ini aku menjadi sering berprasangka yang bukan-bukan?

�Sekarang mau kemana, akhi?� Andri masih santai tak jauh sedikitpun dari posisiku berdiri. Aku amati ada kesungguhan disitu.

�Bogor!� Aku mulai ketus.
�Kebetulan ane juga mau ke Bogor! Mungkin kita bisa bareng sekalian!?�

�Boleh! Tapi, aku mau mampir ke kos-an dulu. Nggak jauh kok dari sini. Daerah Kapuk, jalan Margonda. Ada barang yang ketinggalan. Abis itu, mampir dulu ke rumah orangtua angkatku di RTM. Ya, sekadar pamitan,� uraiku menawarkan.
�Bisa!� jawabnya tangkas serta bersemangat.
�Baik, sekarang kita bisa berangkat. Kalau kesorean, kereta dari Jakarta penuh!�
Andri langsung menuju kasir. Kelihatannya ia membayar sebuah buku bacaan Islam yang ia gamit dari tadi. Sedang aku bergegas merampungkan bacaan. Memang nggak niat beli!

�Sudah bayar?�
�Alhamdulillah!�
�Yuk!�
Di atas angkotan kota, M-19.
Selama dalam perjalanan, pikiranku kembali menari-nari. Walau sudah saling tegur sapa, saling kenal beberapa menit berlalu, tetap saja, sosok Andri aku sapu rata dengan sosok-sosok yang selalu bergelut di alam pikiranku selama ini.

Pastilah ia sosok laki-laki yang akrab disapa dengan panggilan ikhwan itu, tentunya lengkap dengan atribut keikhwanannya pula. Pilih salah satu dari tanda ikhwan itu. Jenggotan, tas model ransel, ujung celana digulung sampai nyaris setengah di atas betis, doyan pakai gamis, muka yang selalu terkesan basah, abis dicuci, karena wudhu melulu, megang tasbih atau Al-Quran mini, bicaranya pelan plus hati-hati sekali. Plus tunduk-menundukkan pandangan kalau diajak ngomong. Di setiap pembicaraan takkan pernah absen, dan di selang-selingi pakai istilah-istilah bahasa Arab, yang membuat keningku mengerut untuk kesekian kali karena tak mengerti. Aktivitasnya pastilah tak jauh-jauh dari Rohis dan Primus alias Pria Musholla, MABIT (Malam Bina Iman dan Takwa), Aksi damai, yang merupakan bentuk lain cara berdemonstrasi ala para ikhwan. Kalau bukan ini sebagian dari tanda-tanda seseorang disebut ikhwan, lalu apalagi?

Ketika sosok asing seperti Andri hadir sebagai teman baruku, dalam hitungan waktu perkenalan itu mencair, dan berlanjut terus. Hal-hal yang terkesan pribadi, sampai yang sepatutnya saja diceritakan. Berapa orang jumlah saudara, jumlah anggota keluarga, kemudian bertukar pandangan tentang masyarakat, negara. Adu opini tentang perkembangan dunia internasional. Apalagi kalau dunia islam, duh, Andri memang paling getol.
Aku sampai pegel-pegel dan terbatuk-batuk walau hanya sekedar meng-amin-kan saja. Kayak tentara siap siaga mau perang ke Palestina saja! Sedikit-sedikit Andri meneriakkan kata, Allahu Akbar!
Wisma Putih, Kawasan Kapuk.

�Ini kamarku!� ujarku sedikit lebih PeDe, karena ada hal yang hendak kulihatkan padanya. Yaitu, karya-karyaku yang pernah dimuat oleh beberapa media cetak nasional.

�Hhmmm�subhanallah ya!� ujarnya mengganggukkan kepala. Kagumkah ia? Atau malah sebaliknya, sebenarnya Andri merespon biasa-biasa saja, tetapi karena ia ingin sekedar menghormatiku, maka ia pilih cara itu?

�Oh iya, ini nomor telepon kampus ane di Dermaga, Bogor. Siapa tau nanti antum ada waktu mau ke sana, ane tunggu. Nomor handphone ane perlu juga nggak?� Andri seperti tak begitu tertarik dengan berbagai bacaan dan buku-buku cerpen serta novel yang aku tawarkan. Kagetkah ia? Atau malah ia khawatir, kedatangannya justru mengganggu rencanaku semula?

�Boleh!�
�Masya Allah, ya, tulisan-tulisan antum!� Andri seakan-akan serius. Tapi bagi diriku, sesungguhnya tak perlu disanjung seperti itu. Buat apa meminta komentar pada orang yang memang bukan bidangnya? Hal itu aku lakukan hanya untuk memecah kekakuan bahan pembicaraan.
�Yah�masih penulis pemula sih!�

Andri terus mengamati halaman per halamannya. Apakah ia kagum, atau ia malah entah menyindir? Aku tak mau tahu. Sebab, apa yang kugapai selama ini bukanlah dengan cara yang mudah. Jadi, biar dan terserah ia menanggapinya bagaimana.

Tak lebih dari lima belas menit di kos-anku, Wisma putih itu, aku melanjutkan perjalanan ke rumah Abi dan Ummi, yang serasa telah menjadi orangtua angkatku sendiri beberapa bulan belakangan ini. Rumahnya terletak di daerah RTM, Kelapa Dua, Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Griya Tugu Asri.

�Kamu tunggu di sini sebentar!�
Andri, aku tinggalkan di pekarangan depan.
�Assalamualaikum!� Aku sudah berdiri di depan pintu.
�Walaikumsalam! Abi dan Ummi pergi!� terdengar samar suara pembantu. Gadis Jawa tujuh belas tahun itu menyambutku.

�Kemana?�
�Nggak bilang mau kemana!�
�Andri, sini!� sahutku berseri. Memberi isyarat mengajaknya masuk.

�Ini teman saya, namanya Andri! Masuk, Ndri!� ajakku tanpa diminta atau dipersilahkan oleh pembantu itu terlebih dahulu.
�Makan, Mas Ari!�

Sip! Ini namanya langkah kanan. Mujur. Datang-datang, nggak ada tuan rumah, ditawari makan, siapa yang nggak senang? Bisa ngajak teman makan bersama sekalian.

�Jangan malu-malu! Anggap saja rumah sendiri!� hiburku. Kata-kata itu kulayangkan ringan tanpa beban pada Andri.

Sebenarnya kata-kata itu layaknya ku tujukan kepada diri sendiri. Memupuk kepercayaan diri untuk kesekian kali. Karena jarang-jarang aku bertemu dengan peristiwa langka begini.

Biasanya, setiap kali aku datang ke sini, selalu ada Abi dan Ummi. Akibatnya, meski sudah ditawarkan aneka makanan dan minuman berulang kali, tetap saja ada rasa malu terselubung, rasa sungkan menyelungkup di hatiku.

Akibatnya, aneka makanan dan minuman itu cuman dipelototin doang! Apakah hal semacam ini hanya terjadi pada diriku? Ataukah ada orang lain juga mengalami hal yang serupa? Kenapa malu makan di rumah majikan bila ada tuan rumahnya? Sedangkan perut berdendang menanggung lapar yang malah sampai keroncongan!

�Silahkan� nambah!� tawarku terkesan sok akrab.
�O, iya!� Andri tenang sekali.
Duh..rupanya ini orang memang asli kelaparan. Sepotong ayam goreng entah sengaja disisihkan buat tuan rumah, atau entah buat siapa sebenarnya, telah dipindahkan Andri semua ke dalam piringnya tanpa ragu.

�He�eh ambil saja!� imbuhku mengusir kekalutan.
�Syukron!� Andri memasang muka puas berbinar.
�Bagaimana? Sekarang kita langsung ke stasiun UI, naik KRL!?� ujarku terburu, ketika semua yang ada di meja makan, tak ada lagi yang tersisa.

Aku cemas campur khawatir, bila orang tua angkatku itu benar-benar datang, lalu membuka pintu. Duh�malunya bisa bertingkat-tingkat. Kemana muka akan aku taruh?
Tanpa banyak kata-kata lagi. Aku buru-buru pamit kepada pembantu itu.

�Sampaikan saja salam saya kepada Abi sama Ummi!� suaraku sambil berlalu menutup pintu.
�Subhanallah ya, akhi!� Mahendra mengelus perutnya, sambil memendarkan pandangan ke sekeliling komplek Griya Tugu Asri.

Kawasan RTM
�Sudah�sudah aku bayar!�
Entah kenapa aku berubah baik seketika itu. Reflek membayarkan ongkos angkot untuk Andri, teman baruku. Biasanya aku sangat perhitungan sekali untuk hal-hal keuangan begini. Sampai-sampai ada yang bilang aku pelit!
�Syukron ya, akhi!�
�Sama-sama!�

Tak sampai lima belas menit dari RTM menuju stasiun.
Pelataran stasiun UI
�Bogor dua, Pak!� Aku merogoh saku lagi.
�Eh�BS, Bayar Sendiri saja ya, Ndri!� celotehku cuek.
�Iya, akhi!�

Tak cukup lima belas menit menunggu. KRL dari Jakarta menuju Bogor datang.
Hup! Aku sigap melompat, saat tubuhku langsung terjepit oleh tubuh-tubuh yang berpeluh, menyisakan aroma masam! Dan�Andri kelihatannya jauh lebih sigap. Ia mendapat tempat agak ke pojok, padahal sebelumnya ia menggelantung di pintu kereta. Nampaknya ia jauh lebih terbiasa naik kereta di bandingkan aku.

Di atas KRL
Antara aku dan Andri kembali ingin benar untuk saling bertukar cerita. Sayang, himpitan manusia berbaur tak menentu menghalanginya.
Setelah melewati stasiun Bojong Gede, penumpang mulai berkurang. Ada bangku-bangku penumpang yang kosong.

�Biasanya Mas Ari dapat ide untuk menulis cerita darimana?� Andri memulai percakapan ketika KRL makin melaju kencang menuju stasiun Bogor.
�Ide? Darimana saja. Pokoknya macam-macam.

Kadang dari melihat tampang orang saja, aku bisa menuliskan untuk dijadikan bahan cerita!�
�Hhmmm�bisa begitu ya!?� Andri manggut-manggut. Kadang menggeleng. Menyisakan kerutan di keningnya.

�Cerita yang paling berkesan!?� Andri seakan antusias.
�Semua cerita yang aku buat, berkesan! Apalagi berbau jihad. Biasanya aku harus pontang-panting memburu bahan untuk cerita itu. Soalnya ceritanya agak unik dan perlu data-data akurat. Sebab, tak selamanya fiksi islami itu hanya berdasar imajinasi belaka sang penulis. Tak kalah penting adalah data-data ilmiah, narasumbernya bila memang dibutuhkan untuk mendukung kekuatan cerita!�

�Subhanallah, ya!� kali ini Andri ku lihat berdecak, terkesan memancarkan kekaguman. Entah kagum, apa menyindir, aku tak mau tau. Aku tak mau cepat-cepat lagi bersenang hati, bila ada orang memuji. Yang kadang malah pujian itu bisa berubah sindiran.

Stasiun Bogor.
Senja menyapa di langit kota Hujan itu, saat kereta sampai di stasiun. Aku dan Andri bergegas turun.

Usai shalat Magrib kami dirikan dengan berjamaah di musholla stasiun. Aku harus rela terpaksa menunggu Andri satu jam lebih. Katanya, ia sebenarnya sudah ada janji dengan salah seorang temannya. Tapi, nggak apa-apa, nanti bisa diatur. Kilahnya pula. Salah satunya bisa di cancel! Tutupnya.

Menuju Puncak
�Rua�payu�rua payu!� pekik knek naik turun. Berebutan.
Rua payu? Memang ada nama daerah itu di kawasan Puncak? Setelah ku renungkan, rupanya yang dimaksudkan oleh para knek itu, Cisarua dan Cipayung! Ah�ada-ada saja ulah mereka itu!
Dari cerita Andri, saat kami sudah di atas angkotan kota, menuju kawasan Puncak, ia membeberkan, Ibu itu kehilangan anaknya di atas kereta, lalu ia mencoba memberikan masukan, menghibur, agar sang ibu tabah. Ulah sikapnya itu, sang ibu seakan mendapatkan tempat, meski sekedar tempat mencurahkan segala apa yang ia rasa. Andri sok jadi hero!

Serta sederet cerita Andri yang lainnya; tentang bagaimana seharusnya menjadi sosok pribadi muslim. Bagaimana keprihatinnya terhadap dunia internasional yang selalu menskreditkan ummat islam, sampai masalah Palestina. Aku hanya manggut-manggut saja, terkadang mendehem, sekedar membuktikan, sebenarnya aku memperhatikan apa yang disampaikannya.
Hujan lebat menyambut kedatanganku di Cipayung. Untung, tepat di pertigaan jalan hendak menuju ke cottage, hujan mereda seketika.

Alhamdulillah! Untuk pertama kali aku merasa Allah sungguh Maha Kuasa atas segala sesuatunya.
Sebab, bagaimana mungkin, hanya dalam hitungan beberapa detik saja, hujan yang tumpah begitu derasnya dari langit, mereda seketika. Kun faya kun! Jadilah, maka jadilah ia, jika Allah berkehendak terhadap sesuatu!

Lembabnya udara malam usai hujan menyambut kedatanganku di cottage. Malam itu aku dan Andri menikmati dinginnya kawasan Puncak. Usai makan malam, shalat isya berjamaah, kemudian murojaah, istilah Andri yang segera kuakrabi, kami banyak tafakur.

Ba�dha Subuh. Di tengah gumpalan kabut Cipayung. Andri mohon pamitan. Ada mata kuliah yang dimulai jam delapan pagi ini. Aku antarkan ia sampai ke jalan raya Bogor-Puncak. Jalan setapak di pematang sawah, kami tempuh dengan penuh suka cita. Aku lebih banyak menceritakan tentang pengalaman-pengalamanku sesama aktivis semasa kuliah di Yogyakarta dulu. Masa-masa aku beradu argumen dengan para aktivis kampus yang penuh idealis! Padahal ketika dihadapkan pada realita yang sebenarnya, terus terang aku banyak kecewa. Antara idealita dan realita, takkan pernah seirama.

�Kalau ada off dari kerja, insya Allah, aku akan sempatkan kesana!�
�Ane tunggu!�
�Assalamualaikum warahamtullah!�
�Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh�
Jabat tangan persahabatan kembali bertaut! Di benakku, siang yang menyapa Margonda, takkan terlupa.
@@@
============
Oleh: Arlen Ara Guci & Faris Jihady Hanifa
di Annida, Jan 05

Thursday, August 24, 2006

[Kisah Islami] Maafkan Ibu, Bidadari Kecilku…..

Malam belum seberapa tua, mata anak

sulungku belum juga bisa dipejamkan. Beberapa buku

telah habis kubacakan hingga aku merasa semakin lelah.

"Kamu tidur donk Dila, Ibu capek nih baca buku terus,

kamunya nggak tidur-tidur," pintaku .

Ditatapnya dalam wajahku, lalu kedua tangannya yang

lembut membelai pipiku. Dan, oh Subhanallah,

kehangatan terasa merasuki tubuhku ketika tanpa

berkata-kata diciumnya kedua pipiku. Tak lama, ia

minta diantarkan pipis dan gosok gigi. Ia tertidur

kemudian, sebelumnya diucapkannya salam dan maafnya

untukku. "Maafin kakak ya Bu. Selamat tidur," ujarnya

lembut.

Kebiasaan itulah yang berlaku dikeluarga kami sebelum

tidur. Aku menghela nafas panjang sambil kuperhatikan

si sulung yang kini telah beranjak sembilan tahun. Itu

artinya telah sepuluh tahun usia pernikahan kami.

Dentang waktu didinding telah beranjak menuju tengah

malam. Setengah duabelas lewat lima ketika terdengar

dua ketukan di pintu. Itu ciri khas suamiku. Seperti

katanya barusan ditelepon, bahwa ia pulang terlambat

karena ada urusan penting yang tak bisa ditunda besok.

Suamiku terkasih sudah dimuka pintu. Cepat kubukakan

pintu setelah

sebelumnya menjawab salam. "Anak-anak sudah tidur?"

Pertanyaan itu yang terlontar setelah ia bersih-bersih

dan menghirup air hangat yang aku suguhkan. "Sudah,"

jawabku singkat.

"Kamu capek sekali kelihatannya. Dila baik-baik saja?"

Aku menggangguk. "Aku memang capek. Tapi aku bahagia

sekali, bahkan aku pingin seperti ini seterusnya."

Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu menatapku

dengan sedikit bingung. "Akan selalu ada do'a untukmu,

karena keikhlasanmu mengurus anak-anak dan suami

tentunya. Dan aku akan minta pada Allah untuk

memberimu pahala yang banyak," hiburnya kemudian.

Aku tahu betapa ia penasaran ingin tahu apa yang

hendak aku katakan, tapi ia tak mau memaksaku untuk

bercerita. Tak sanggup aku menahan gejolak perasaan

dalam dada yang sepertinya hendak meledak. Kurangkul

erat tubuhnya. "Maafkan aku mas," bisikku dalam hati.

Pagi ini udara begitu cerah. Dila, sulungku yang

semalam tidur paling akhir menjadi anak yang lebih

dulu bangun pagi. Bahkan ia membangunkan kami untuk

sholat subuh bersama. Mandi pagipun tanpa dikomandoi

lagi. Dibantunya sang adik, Helmi, memakai celana.

Dila memang telah trampil membantuku mengurus adiknya.

Tak hanya itu, menyapu halamanpun ia lakukan. Tapi itu

dengan catatan, kalau ia sedang benar-benar ingin

melakukannya. Kalau "angot" nya datang, wah, wah, wah.

Inilah yang ingin aku ceritakan. Dila kerap marah

berlebihan tanpa sebab yang jelas, sampai membanting

benda-benda didekatnya, menggulingkan badan dilantai

dan memaki dengan kata-kata kotor.

Memang aku pernah melakukan suatu kesalahan saat aku

kesal menghadapi ulahnya. Saking tak tertahannya

kesalku, aku membanting pintu dan itu dilihatnya.

Wajar saja kalau akhirnya Dila meniru perbuatanku itu.

Penuh rasa sesal saat itu, aku berjanji untuk tidak

melakukan hal itu kembali. Kuberikan penjelasan pada

Dila bahwa aku salah dan hal itu tak boleh ia lakukan.

Entah ia mengerti atau tidak.

Hari itu Dila bangun agak siang karena kebetulan hari

Minggu, pakaiannya basah kena ompol. Padahal ia tak

biasanya begitu. Segera saja kusuruhnya mandi. Tapi

Dila menolak, dengan alasan mau minum susu. "Boleh,

tapi setelah minum susu , kakak segera mandi ya karena

baju kakak basah kena ompol" Dila menyetujui

perjanjian itu. Tapi belum lagi lima menit setelah

habis susu segelas, ia berhambur keluar karena

didengarnya teman-temannya sedang main. Mandipun urung

dikerjakan. Aku masih mentolelir. Tapi tak lama

berselang "Kak Dila. mandi dulu," aku setengah

berteriak memanggilnya karena ia sudah berada diantara

kerumunan anak yang sedang main lompat tali. "Sebentar

lagi Bu. Kakak mau lihat Nisa dulu," begitu jawabnya.

Aku masih belum bereaksi. Kutinggal ia sebentar karena

Helmi merengek minta susu. Setelah membuatkan susu

untuknya, aku keluar rumah lagi. Kali ini menghampiri

Dila. "Waktumu sudah habis, sekarang kamu mandi",

bisikku pelan ditelinganya. Dila bereaksi menamparku

keras, "Nanti dulu!" aku tersentak, mendadak emosiku

membludak. Aku balas menampar Dila hingga meninggalkan

bekas merah di pipi kanannya. Tanpa berkata-kata lagi,

kuseret tangannya sekuat tenaga. Dila terus meronta.

Kakiku digigitnya. Aku dengan balas mencubit. Layaknya

sebuah pertarungan besar kami saling memukul dan

meninggikan suara. Setibanya dikamar mandi Dila

kuguyur berulang-ulang, kugosok badanya dengan keras,

kuberi sabun dan kuguyur lagi hingga ia tampak

gelagapan. Aku benar benar kalap. Selang beberapa

menit kemudian, kukurung Dila dikamar mandi dalam

keadaan masih tidak berpakaian. Ia menggedor-gedor

pintu minta dibukakan. Berulang kali ia memaki dan

mengatakan akan mengadukan kepada ayah.

Tak berapa lama kemudian suara Dila melemah, hanya

terdengar isak tangisnya. Aku membukakan pintu dengan

mengomel. "Makanya, kalau disuruh mandi jangan

menolak, Ibu sampe capek, dari tadi kamu menolak mandi

terus. Awas ya kalau seperti ini lagi. Ibu akan kunci

kamu lebih lama lagi. Paham!", entah ia mengerti atau

tidak. Dila hanya menangis meski tidak lagi meraung.

Setelah rapih berpakaian, menyisir rambut dan makan.

Dila seolah melupakan kejadian itu. Iapun asyik

kembali main dengan teman-temannya. Peristiwa itu

tidak hanya satu dua kali terjadi. Tidak hanya pada

saya ibunya tapi juga pada ayahnya. Tapi, cara suamiku

memperlakukan Dila sangat berbeda. Barangkali memang

dasarnya aku yang tidak sabar menghadapi anak rewel.

Tiap kali itu terjadi, cara itulah yang aku lakukan

untuk mengatasinya. Bahkan mungkin ada yang lebih

keras lagi dari itu.

Tapi apa yang dilakukan Dila pada saya, Subhanallah,

Dila tak pernah menceritakan perlakuanku terhadapnya

kepada siapapun. Seolah ia pendam sendiri dan tak

ingin diketahui orang lain. Akupun tak pernah

menceritakan kepada suami, khawatir kalau ia marah.

Padahal Dila itu anak kandungku, anak yang keluar dari

rahimku sendiri. Aku kadang membencinya, tidak

memperlakukan dia layaknya aku memperlakukan Helmi

adiknya. Dila anak yang cerdas. Selalu ceria, gemar

menghibur teman-temannya dengan membacakan mereka buku

yang tersedia dirumah. Bahkan teman-temannya merasa

kehilangan ketika Dila menginap di rumah neneknya

diluar kota, yang cuma dua malam.

Belaian lembut tangan suamiku menyadarkan aku. Kulepas

pelukanku perlahan. Tak sadar air mata menyelinap

keluar membasahi pipi. "Sudahlah, malam semakin larut.

Ayo kita tidur," ajaknya lembut. Aku berusaha

menenangkan gemuruh dibatinku. Astaghfirullah, aku

beristighfar berulang kali. "Aku mau tidur dekat Dila

ya?" pintaku. Lagi-lagi kearifan suamiku membuatku

semakin merasa bersalah. Kuhampiri Dila yang tampak

pulas memeluk guling

kesayangannya. Siswi kelas tiga SD itu begitu baik

hati. Aku malu menjadi ibunya yang kerap memukul,

berkata-kata dengan suara keras dan...oh Dila maafkan

Ibu.

Disisi Dila bidadari kecilku, aku bersujud di tengah

malam. " Ya Allah, melalui Dila, Engkau didik hambamu

ini untuk menjadi ibu yang baik. Aku bermohon ampunan

kepada-Mu atas apa yang telah kulakukan pada

keluargaku, pada Dila. Beri hamba kesempatan

memperbaiki kesalahan dan ingatkan hamba untuk tidak

mengulanginya lagi. Dila, maafkan Ibu nak, kamu banyak

memberi pelajaran buat Ibu."

Sebuah renungan untuk para ibu (termasuk saya

didalamnya). Semoga kita semakin menyayangi anak-anak

dan memperlakukan mereka dengan baik. Sebagaimana

diingatkan dalam sebuah hadits Nabi SAW agar manusia

menyayangi anak-anaknya. Ketika Aqra' bin Habis At

Tamimi mengatakan bahwa ia memiliki sepuluh anak tapi

tak pernah mencium salah seorang diantara mereka,

Rasululloh SAW bersabda "barangsiapa yang tidak

menyayangi maka dia tidak disayangi" (HR. Bukhari dan

Tirmizi)

(Gesang Utari, gesangutari@hotmail.com)

from : Eramuslim.Com

[Kisah Islami] Menanti Bangau Lewat

MENANTI BANGAU TERBANG LEWAT

Source : Hokoriku-MOL

Teng !…jam dinding berdentang satu kali. Malam semakin larut, tapi Anis masih duduk di ruang tengah. Sejak tadi matanya sulit terpejam. Baru beberapa jam yang lalu Ibu Mas Iqbal, suaminya, menelepon, "Nis, Alhamdulillah, barusan ini keponakanmu bertambah lagi..." suara ibu terdengar sumringah di ujung sana.

"Alhamdulillah…, laki-laki atau perempuan Bu ?" Anis tergagap, kaget dan senang. Sudah seminggu ini keluarga besar Mas Iqbal memang sedang berdebar-debar menanti berita Dini, adik suaminya, yang akan melahirkan.

"Laki-laki, cakep lho Nis, mirip Mas mu waktu bayi…" Ibu tertawa bahagia. Dini memang adik yang termirip wajahnya dengan Mas Iqbal.

"Selamat ya Bu nambah cucu lagi, salam buat Dini, insya Allah besok pulang kerja Anis dan Mas Iqbal akan jenguk ke rumah sakit" janji Anis sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Dini di rumah sakit.

Setelah menutup telpon Anis termenung sesaat. Ia jadi teringat usia pernikahannya yang telah memasuki tahun ke lima, tapi belum juga ada tangis si kecil menghiasi rumah mereka. Meskipun demikian ia tetap ikut merasa sangat bahagia mendengar berita kelahiran anak kedua Dini di usia pernikahan mereka yang baru tiga tahun.

"Koq melamun !…" Mas Iqbal yang baru keluar dari kamar mandi mengagetkannya. Ia memang pulang agak malam hari ini, ada rapat di kantor katanya. Air hangat untuk mandinya sempat Anis panaskan dua kali tadi.

"Mas, ibu tadi mengabari Dini sudah melahirkan, bayinya laki-laki" cerita Anis.

"Alhamdulillah...Dila sudah punya adik sekarang" senyum Mas Iqbal sambil mengeringkan rambutnya, tapi entah mengapa Anis menangkap ada sedikit nada getir dalam suaranya. Anis menepis perasaannya sambil segera menata meja menyiapkan makan malam.

Selepas Isya bersama, Mas Iqbal segera terlelap, seharian ini ia memang lelah sekali. Anis juga sebenarnya agak lelah hari ini. Ia memang beruntung, selepas kuliah dan merasa tidak nyaman bekerja di kantor, Anis memutuskan untuk membuat usaha sendiri saja. Dibantu temannya seorang notaris, akhirnya Anis mendirikan perusahaan kecil-kecilan yang bergerak di bidang design interior. Anis memang berlatar pendidikan bidang tersebut, ditambah lagi ia punya bakat seni untuk merancang sesuatu menjadi indah dan menarik. Bakat yang selalu tak lupa disyukurinya. Keluarga dan teman-teman banyak yang mendukungnya, akhirnya sekarang ia sudah memiliki kantor mungil sendiri tidak jauh dari rumahnya.

Dan, seiring dengan kemajuan dan kepercayaan yang mereka peroleh, perusahaannya sedikit demi sedikit mulai dikenal dan dipercaya masyarakat. Tapi Anis merasa itu tidak terlalu melelahkannya, semua dilakukan semampunya saja, sama sekali tidak memaksakan diri, malah menyalurkan hobi dan bakatnya merancang dan mendesign sesuatu sekaligus mengisi waktu luangnya. Beberapa karyawan cekatan sigap membantunya. Malah sekarang sudah ada beberapa designer interior lain yang bergabung di perusahaan mungilnya. Itu sebabnya sesekali saja Anis agak sibuk mengatur ketika ada pesanan mendesign yang datang, selebihnya teman-teman yang mengerjakan. Waktu Anis terbanyak tetap buat keluarga, mengurus rumah atau masak buat Mas Iqbal meski ada Siti yang membantunya di rumah, menurutnya itu tetap pekerjaan nomor satu. Anis juga bisa tetap rutin mengaji mengisi ruhaniahnya. Namun karena kegiatannya itu, biasanya ia tidur cepat juga, tapi malam ini rasa kantuknya seperti hilang begitu saja. Berita dari ibu tadi membuat Anis teringat lagi. Teringat akan kerinduannya menimang si kecil, buah hatinya sendiri.

Lima tahun pernikahan adalah bukan waktu yang sebentar. Awalnya Anis biasa saja ketika enam bulan pertama ia tak kunjung hamil juga, ia malah merasa punya waktu lebih banyak untuk suaminya dan merintis kariernya. Seiring dengan berjalannya waktu dan tak hentinya orang bertanya, dari mulai keluarga sampai teman-temannya, tentang kapan mereka menimang bayi, atau kenapa belum hamil juga, Anis mulai khawatir. Fitrahnya sebagai wanita juga mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada dirinya, atau kapan ia hamil seperti juga pasangan-pasangan lainnya… Atas saran dari banyak orang Anis mencoba konsultasi ke dokter kandungan. Seorang dokter wanita dipilihnya. Risih juga ketika menunggu giliran di ruang tunggu klinik, pasien di sekitarnya datang dengan perut membuncit dan obrolan ringan seputar kehamilan mereka. Atau ketika salah seorang diantara mereka bertanya sudah berapa bulan kehamilannya.

"Saya tidak sedang hamil, hanya ingin konsultasi saja…" senyum Anis sabar meski dadanya berdebar, sementara Mas Iqbal semakin pura-pura asyik dengan korannya. Anis bernafas lega ketika dokter menyatakan ia sehat-sehat saja. Hindari stress dan lelah, hanya itu nasehatnya.

Setahun berlalu. Ditengah kebahagiaan rumah tangganya ada cemas yang kian mengganggu Anis. Kerinduan menimang bayi semakin menghantuinya. Sering Anis gemas melihat tingkah polah anak-anak kecil disekitarnya, dan semakin bertanya-tanya apa yang terjadi dengan dirinya. Setelah itu mulailah usaha Anis dan suaminya lebih gencar dan serius mengupayakan kehamilan. Satu demi satu saran yang diberikan orang lain mereka lakukan, sejauh itu baik dan tidak melanggar syariat Islam. Beberapa dokter wanita juga kadang mereka datangi bersama, meski lagi dan lagi sama saja hasilnya. Sementara hari demi hari, tahun demi tahun terus berlalu.

Kadang Anis menangis ketika semakin gencar pertanyaan ditujukan padanya atau karena cemas yang kerap mengusik tidurnya. Mas Iqbal selalu sabar menghiburnya "Anis...apa yang harus disedihkan, dengan atau tanpa anak rumah tangga kita akan berjalan seperti biasa. Aku sudah sangat bahagia dengan apa yang ada sekarang. Insya Allah tidak akan ada yang berubah dalam rumah tangga kita…" goda Mas Iqbal suatu ketika seperti bisa membaca jalan pikirannya. Suaminya memang tahu kapan Anis sedang mendalam sedihnya dan harus dihibur agar tidak semakin larut dalam kesedihannya. Di saat-saat seperti itu memang cuma suaminya yang paling bisa menghiburnya, tentu saja disamping do'a dan berserah dirinya pada Allah. Kadang Anis heran kenapa Mas Iqbal bisa begitu sabar dan tenang, seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Dia selalu ceria dan optimis seperti biasa. Apakah memang pria tidak terlalu memasukkan unsur perasaannya atau mereka hanya pintar menyembunyikan perasaan saja? Anis tidak tahu, yang pasti sikap Mas Iqbal banyak membantu melewati masa-masa sulitnya.

Sebenarnya Anis juga bukan selalu berada dalam kondisi sedih seperti itu. Sesekali saja ia agak terhanyut oleh perasaannya, biasanya karena ada faktor penyulutnya, yang mengingatkan ia akan mimpinya yang belum terwujud itu. Selebihnya Anis bahagia saja, bahkan banyak aktivitas atau prestasi yang diraihnya. Buatnya tidak ada waktu yang disia-siakan. Selagi sempat, semua peluang dan kegiatan positif dilakukannya. Kadang-kadang beberapa teman menyatakan kecemburuannya terhadap Anis yang bisa melakukan banyak hal tanpa harus disibuki oleh rengekan si kecil. Anis tersenyum saja.

Anis juga tidak pernah menyalahkan teman-temannya kalau ketika sesekali bertemu obrolan banyak diisi tentang anak dan seputarnya. Buatnya itu hal biasa, usia mereka memang usia produktif. Jadi wajar saja kalau pembicaraan biasanya seputar pernikahan, kehamilan, atau perkembangan anak-anak mereka yang memang semakin lucu dan menakjubkan, atau cerita lain seputar itu. Biar bagaimanapun Anis menyadari menjadi ibu adalah proses yang tidak mudah dan perlu belajar atau bertukar pengalaman dengan yang lain. Tapi kadang-kadang, sesekali ketika Anis sedang sedih, rasanya ia tidak mau mendengar itu dulu. Anis senang juga jika ada yang berusaha menjaga perasaannya diwaktu-waktu tertentu, dengan tidak terlalu banyak bercerita tentang hal tersebut, bertanya, atau malah menyemangati dengan do'a dan dukungan agar sabar dan yakin akan datangnya si kecil menyemarakkan rumah tangganya.

Anis tersadar dari lamunannya. Diminumnya segelas air dingin dari lemari es. Sejuk sekali. Meskipun malam tapi udara terasa pengap. Ditambah lagi berwudhu ditengah malam, melunturkan sebagian besar kemelut dalam dadanya. Setelah membangunkan suaminya, Anis shalat malam berdua. Di akhir shalat air mata Anis membasahi sajadahnya. "Rabbi..., ampunilah dosa-dosa kami, jangan beri kami cobaan yang tidak kuat kami menanggungnya. Beri kami kekuatan dalam menjalani semuanya. Perkenankan kami memiliki buah hati pewaris kami, penerus kami dalam menegakkan Dien-Mu. Hanya ridha-Mu yang kami cari. Sungguh tidak ada yang lain lagi...". Selesai shalat Anis terlelap. Dalam mimpinya ia bermain bersama beberapa gadis kecil. Senang sekali.

*****

Suatu siang di kantornya, Anis sedang merancang sebuah ruang pameran. Ada festival Islam yang akan digelar, mungkin karena tidak banyak designer interior berjilbab rapi seperti Anis, ia dipercaya merancangnya. Ketika sedang mencorat-coret gambar, Fitri mengejutkannya, "Mbak Anis, ada tamu yang mau bertemu".

"Dari mana Fit ?" tanya Anis.

"Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, mau menawarkan kerja sama".

"Iya deh, saya kedepan sepuluh menit lagi" jawab Anis.

Setelah bincang-bincang dengan tamunya akhirnya Anis menyepakati kerja sama menyantuni beberapa anak-anak yatim yang diasuh yayasan tersebut. Anis memang selalu menyisihkan rezkinya untuk mereka yang membutuhkan. Perusahaan mungil yang dikelolanya selalu berusaha menjalankan syariat Islam.

Sejak itu Anis punya kegiatan baru, menyantuni dan mengasuh beberapa anak yatim bersama yayasan tersebut. Tidak banyak kegiatan sebenarnya, hanya laba perusahaan kecilnya yang tidak seberapa disisihkan sebagian untuk disalurkan sebagai beasiswa untuk beberapa anak-anak tersebut. Itupun setelah dimusyawarahkan dengan semua teman-teman dan disetujui bersama. Tapi banyak hikmah yang Anis dapatkan. Sesekali Anis jadi bertemu dan bersahabat dengan mereka. Anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya sehingga tidak seberuntung yang lain, yang mendapat curahan perhatian dan kasih sayang berlimpah dari orang tua. Mereka memang kurang beruntung, tapi kesabaran dan ketegaran mereka membuat Anis malu menyadari dirinya yang rapuh, mudah mengeluh dan sedih. Anis jadi menyadari betapa sebenarnya karunia yang diberikan Allah padanya begitu banyak dan berlimpah. Kalaupun ada satu atau dua hal yang luput, itu tidak seberapa dibandingkan dengan yang ia telah dapatkan. Anis jadi menata dirinya untuk lebih sabar dan banyak bersyukur. Dengan banyak bersyukur tentu Ia akan lebih banyak memberikan lagi nikmat-Nya.

*****

"Bu Anis, kuenya enak sekali..." puji Ina tulus. Mata polosnya bersinar senang. Ia memang anak yang manis, kelas 5 SD dan selalu ranking satu di kelasnya, ibunya hanya penjual gado-gado dengan tiga orang anak, sementara ayahnya sudah meninggal sejak Ina kelas satu. Minggu pagi cerah ini Anis memang mengundang beberapa anak asuhnya ke rumah beserta beberapa orang pengurus yayasan. Sejak kemarin ia dan Mas Iqbal pontang-panting menyiapkan semuanya. Sebenarnya bisa saja Anis pesan makanan, tapi entah kenapa ia ingin menyiapkan sendiri, untungnya Mas Iqbal setuju dan membantunya penuh.

"Bu Anis, sup nya Farouk tumpah...." jerit Atikah nyaring.

Anis sibuk melayani mereka, Mas Iqbal juga tak kalah repot. Sekarang Anis memang semakin dekat dengan mereka, ia berusaha memberikan kasih sayang dan perhatian atau bimbingan semampunya. Mereka banyak membuka mata dan hatinya. Anak-anak malang yang membutuhkan kasih sayang dan bimbingan.

Selesai acara Anis kecapekan luar biasa, anak-anak itu terkadang manja dan mencari perhatiannya saja, tapi Anis senang. Tamu-tamu kecil itu menyemarakkan rumahnya.

Keesokan paginya Anis bangun agak siang. Selesai shalat subuh dan menyiapkan keperluan Mas Iqbal, ia tertidur lagi. Suaminya berangkat kerja tanpa pamit, kasihan pada Anis yang sepertinya masih kelelahan. Anis sendiri tidak pergi kerja hari ini, ia sudah izin sebelumnya.

Jam setengah delapan pagi Anis terbangun oleh dering telepon dari ibunya.

"Anis, selamat ulang tahun ya…semoga semakin bertambah keimanannya, sehat, bahagia dan cepat mendapatkan momongan", ujar ibu mendo'akan.

"Terima kasih ya, Bu" Anis tersadar bahwa hari ini usianya bertambah lagi. Sebenarnya ia tak pernah menganggap istimewa, tapi kalau ada yang ingat ya senang juga.

"Masih sering sedih nggak?..." Ibu menggodanya. Selain Mas Iqbal memang ibu yang paling memahami perasaannya dan tentu saja yang paling sering menghibur dan mendo'akannya.

"Ingat lho Nis, apa saja yang kita dapatkan itu sudah hasil seleksi dari sana dan itu adalah yang terbaik untuk kita. Kita harus ikhlas, sabar, dan senang menerimanya. Istri-istri Rasululloh pun ada yang tidak diberi momongan dan itu bukan dosa. Yang penting kita tak putus usaha dan berdo'a, bagaimana hasilnya biar Allah saja yang menentukan", ibu menasehati.

"Iya Bu" jawab Anis hampir tak terdengar. Ia terharu ibu selalu memperhatikan dan menghiburnya.

Setelah menutup telpon dari ibu Anis dikejutkan lagi oleh selembar surat di meja, yang ini ucapan selamat dari Mas Iqbal rupanya. Anis tersenyum membacanya tapi matanya akhirnya basah juga. Suaminya memang selalu sabar dan penuh perhatian, tak pernah sekalipun ia menyakiti hati Anis, kalaupun ada perbedaan pendapat selalu ia selesaikan dengan bijak. Tiba-tiba Anis merasakan lagi betapa besar nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya. Rasanya tidak ada lagi alasan untuk bersedih, apalagi putus asa. Kalau memang sudah tiba waktunya dan baik untuknya, tentu harapan dan do'anya akan dikabulkan. Ia yakin tidak akan ada do'a dan usaha yang sia-sia. Hanya Allah yang tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya, tidak mungkin Ia mendzholimi hamba-Nya dan Ia yang akan mengabulkan do'a. Insya Allah mungkin esok hari. Ya, siapa tahu… (er)

"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui." (Al Ankabuut, 64)